Maesaroh, salah seorang pengemis yang mengaku sebagai warga asal Madura, Jawa Timur, yang ditemui Tribunnews.com di sebuah jembatan penyeberangan di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat, mengatakan, biasanya momen jelang bulan puasa seperti ini selalu mereka manfaatkan untuk mengais belas kasih orang lain. "Karena kalau puasa banyak yang sedekah. Banyak yang suka bagi-bagi sembako," ujar Saroh bercerita.
Ibu tiga anak tersebut mengaku, dalam sehari ia bisa mengumpulkan ratusan ribu rupiah hanya dengan duduk menadahkan tangan di jembatan penyeberangan. Meski sempat enggan menyebutkan angka, akhirnya warga Prenduan Dejeh, Sumenep tersebut mau menceritakan bagaimana ia bisa hidup di Jakarta dengan bermodalkan pakaian kumal nan lusuh serta acak-acakan.
"Nggak ada Mas, saya hanya orang kecil. Saya nggak ngerti. Ini cuma buat makan saja. Paling tiga ratus ribu sehari," ujarnya sambil menampakkan wajah kesal.
Bukan hanya Maesaroh saja yang memilih jalan tol dalam mencari uang. Salah seorang pengemis di sekitaran depan Rumah Sakit Budi Kemulyaan, Jakarta, juga tak kalah bersemangatnya menjelang Ramadhan. Sutini, nama ibu-ibu pengemis tersebut bahkan bisa panen hingga 500 ribu rupiah dalam sehari.
Saat pagi hari datang, ia dan ratusan kawan-kawan satu korps-nya hanya bermodalkan baju lusuh dan dengan sedikit mengoleskan minyak sayur atau biji kemiri yang dibakar, lalu minyaknya yang agak berwarna gelap mereka usapkan ke muka. Hasilnya, wajah-wajah mereka terlihat lebih dekil dan kumal seolah satu tahun tidak bertemu air.
"Uangnya bisa dapat gopek sehari. Itu kebanyakan uang receh. Kalau sore kami tukarkan ke stasiun kereta api. Nantinya pulang udah nggak bawa uang receh lagi," ujar ibu gempal tersebut.
Yang menarik, meski meminta-minta, ternyata dibalik kerudung compang-camping tersebut, ibu ini menggunakan kalung emas yang nilainya tentu besar. Meski sempat akan menangis lantaran dikorek keterangannya perihal kalung tersebut, ibu satu anak itu akhirnya mengakui jika koleksi perhiasannya cukup banyak hanya dari hasil mengemis.
"Jangan ditangkap Mas, saya cuman gelandangan. Rumah saya di kolong jalan. Iya saya mengaku ini emas asli. Saya juga nyimpen gelang sama giwang (anting-anting) untuk betulin rumah di kampung," cerita Tini.
Mereka mengaku tidak sendirian dalam meminta-minta berkeliling jalanan. Tini menuturkan, biasanya mereka bergerombol beberapa orang dan nantinya beroperasi satu demi satu. Jika ada yang mendapat uang dari pembeli dalam satu warung makan misalnya, ia akan memberitahu teman yang lain agar mengikuti jejaknya ke warung tersebut.
"Pertama satu dulu meminta ke warung. Kalau sudah ada yang kasih, dia datang kasih tahu kami. Eh, di sana banyak yang kasih duit. Sana aja gantian. Baru nanti satu-satu datang ke warung tadi. Tapi jangan buru-buru. Nunggu beberapa menit baru jalan. Kalau enggak nanti ketahuan," ungkap Tini.