Senin, 9 Agustus 2010 | 15:08 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Juru Bicara Kepolisian Mabes Polri Irjen Edward Aritonang mengatakan, penangkapan Amir Jama'ah Anshorut Tauhid Abu Bakar Baasyir, Senin (9/8/2010) pagi di Ciamis, Jawa Barat, berkaitan dengan perannya atas gerakan terorisme di Aceh. Abu Bakar Ba'asyir diduga terlibat dalam pelatihan militer di Aceh. Abu Bakar, kata Edward, diduga menunjuk Mustopa Abu Tolid sebagai pengelola tempat pelatihan. Adapun Dulmatin sebagai penanggung jawab lapangan.
Soal mengapa Aceh dipilih, Mabes Polri belum mengelaborasinya. Namun, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, pada Simposium Nasional Memutus Rantai Radikalisme dan Terorisme, akhir Juli 2010, mengatakan, setidaknya ada tujuh alasan mengapa Aceh dipilih sebagai tempat latihan terorisme. "Pertama, lokasi Aceh yang sangat strategis, dekat dengan dunia internasional, dan jauh dari pusat kekuasaan menjadi salah satu alasan mengapa wilayah ini yang dipilih sebagai pusat pelatihan teroris di Asia Tenggara. Kelebihan dalam hal geografis ini akan memudahkan para teroris untuk melakukan hubungan dengan jaringan internasionalnya. Pemasokan senjata juga lebih mudah karena bisa dilakukan melalui jalur laut," katanya.
Kedua, kelompok teroris diperkirakan merasa yakin diterima dengan tangan terbuka oleh rakyat Aceh, apalagi dengan membawa isu Islam. Menurutnya, kelompok ini menganggap, dengan mengusung isu Islam, mereka akan mudah masuk Aceh. Padahal, sambungnya, dalam sejarah peradaban Islam Aceh, tidak pernah ada secuil kisah apa pun tentang Islam radikal. Militansi Islam di Aceh bukanlah militansi Islam radikal.
"Ketiga, perdamaian di Aceh masih dalam proses. Kelompok ini berasumsi ada mantan kombatan yang kecewa dengan perdamaian di Aceh. Kelompok ini dianggap sangat berpotensi untuk dirangkul dan senjata yang diduga masih ada di tangan warga sipil bisa digunakan. Nyatanya, tidak ada eks kombatan yang ikut terlibat dalam kelompok mereka," katanya.
Keempat, sebagai daerah yang pernah terlibat konflik separatis, di kawasan pedalaman Aceh sangat banyak tempat yang bisa dijadikan kamp latihan militer. Lokasi biasanya strategis dan jauh dari perkotaan. Senjata sisa konflik juga masih beredar di tangan masyarakat. Fasilitas ini sangat mendukung untuk kegiatan latihan terorisme.
Kelima, Irwandi mengatakan, kelompok ini menganggap saat ini aparat keamanan tengah fokus untuk menjaga perdamaian Aceh. Gerakan perdamaian itu lebih banyak dilakukan di perkotaan, sementara kawasan pedesaan akan luput dari perhatian. Kesempatan ini yang kemudian digunakan para teroris untuk melakukan pelatihan di kamp-kamp pelatihan yang ada di Aceh.
"Keenam, hubungan yang belum harmonis atau dendam yang masih ada dari masyarakat terhadap aparat keamanan dianggap bisa menjadi mesiu dalam mendapat dukungan," katanya.
Terakhir, sesuai dengan perjanjian MoU Helsinki, jumlah aparat keamanan di Aceh dibatasi. Polisi hanya berjumlah 9.200 orang, dan TNI berjumlah 14.000 personel. "Pembatasan jumlah personel polisi dan TNI ini membuat ruang para teroris ini menjadi lebih aman," katanya.
Irwandi mengatakan, semua alasan di atas ternyata tak berjalan. "Jaringan teroris di Aceh relatif mudah diberantas aparat keamanan. Mereka bukan gerakan rakyat Aceh sehingga mereka tidak pernah mendapat dukungan dari rakyat. Rakyat Aceh sudah jenuh dengan konflik. Sekarang rakyat Aceh lebih fokus dalam pembangunan ekonomi," katanya.
http://nasional.kompas.com/read/2010...enyasar.Aceh-4